Selasa, 03 Februari 2015

LP sepsis


Dian Hadi Kuncoro Skep.,Ns

SEPSIS

A.    Definisi

Menurut The International Sepsis Definition Conferences (ISDC) sepsis adalah sindroma klinis dengan adanya Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dan infeksi. Sepsis merupakan suatu proses berkelanjutan mulai dari infeksi, SIRS, sepsis berat, renjatan / syok septik, disfungsi multiorgan, dan akhirnya kematian (Guntur, 2009).

Sepsis adalah adanya SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome) ditambah dengan adanya infeksi pada organ tertentu berdasarkan hasil biakan positif di tempat tersebut (Duraira, 2008).

Definisi lain menyebutkan bahwa sepsis merupakan respon sistemik terhadap infeksi berdasarkan adanya SIRS ditambah dengan infeksi yang dibuktikan (proven) atau dengan suspek infeksi secara klinis (Hollenberg, 2007).

Berdasarkan Bone et al dikatakan SIRS apabila pasien memiliki dua atau lebih dari criteria dibawah ini :

1.      Suhu tubuh > 38 atau < 36 C

2.      Denyut jantung > 90 x/m

3.      Pernafasan > 20 x/m atau PaCO2 < 32 mmHg

4.      Lekosit > 12.000 atau < 4000 /mm3 atau sel muda >10%

B.     Etiologi

Penyebab dari sepsis berdasakan urutan paling sering adalah :

1.      Aerob gram negatif

2.      Aerob gram positif

3.      Jamur

4.      Parasit

5.      Virus

(Guntur, 2009)

C.    Patofisiologi

Sepsis merupakan hasil interaksi yang kompleks antara organisme patogen dan tubuh manusia sebagai pejamu. Tinjauan mengenai sepsis berhubungan dengan patofisiologi yang kompleks untuk mengilustrasikan gambaran klinis akan suatu hipotensi yang berat dan aliran darah yang terbendung akibat terbentuknya mikrotrombus di dalam sistem kapiler. Hal ini dapat menyebabkan disfungsi organ yang kemudian dapat berkembang menjadi disfungsi dari beberapa organ dan akhirnya kematian.

Proses molekuler dan seluler dari pejamu sebagai respon terhadap sepsis adalah berbeda-beda tergantung dari jenis organisme yang menginvasi (organisme Gram-positif, organisme Gram-negatif, jamur, atau virus). Respon pejamu terhadap organisme Gram-negatif dimulai dengan dikeluarkannya lipopolisakarida, yakni endotoksin dari dalam dinding sel bakteri Gram-negatif, yang dikeluarkan saat proses lisis. Organisme Gram-positif, jamur dan virus memulai respon pejamu dengan mengeluarkan eksotoksin dan komponen-komponen antigen seluler.

Kedua substansi tadi memicu terjadinya kaskade sepsis yakni dimulai dengan pengeluaran mediator-mediator inflamasi .Mediator-mediator inflamasi adalah substansi yang dikeluarkan dari sel sebagai hasil dari aktivasi makrofag. Hasilnya adalah aktifnya sistem koagulasi dan sistem komplemen. Kerusakan utama akibat aktivasi ini terjadi pada endotel dan menyebabkan migrasi leukosit serta pembentukan mikrotrombus. Akibat aktivasi endotelium, terjadi peningkatan jumlah reseptor trombin pada permukaan sel untuk melokalisasi koagulasi pada lesi tersebut. Lesi pada endotel berhubungan dengan proses fibrinolisis yang terganggu. Hal ini disebabkan karena berkurangnya jumlah reseptor pada permukaan sel yang diperlukan untuk sintesis dan pemunculan molekul antitrombotik.

Gram negatif adalah komponen lipopolisakarida (endotoksin) dari dinding sel gram negatif. Lipid A adalah bagian dari molekul endotoksin yang sangat imunoreaktif dan berperan untuk kebanyakan efek toksik. Endotoksin pertama dihubungkan dengan protein plasma yang disebut protein pengikat-lipopolisakarida. Kompleks ini lalu menuju ke reseptor spesifik (CD14) di permukaan makrofag, lalu mengaktifkannya dan menyebabkan pelepasan mediator inflamasi. Sepsis melibatkan interaksi yang kompleks dari proinflamatori (seperti, tumor necrosis factor α [TNF α], interleukin [IL]1, IL-6) dan mediator anti inflamasi (seperti antagonis IL-1, IL-4, dan IL-10). IL-8,

TNF-αmerupakan mediator sepsis yang terutama di samping beberapa sitokin dan sel-sel lain yang juga terlibat. Mula-mula, makrofag teraktivasi dan memproduksi sejajaran mediator-mediator proinflamasi, termasuk TNF-α, Interleukin-1 (IL-1), IL-6, IL-8, platelet activating factor (PAF), leukotrien, dan thromboxane-A2. Mediator-mediator proinflamasi ini mengaktifkan banyak jenis sel, menginisiasi kaskade sepsis, dan menghasilkan kerusakan endotel. Ketika terluka, sel-sel endotel dapat dilalui oleh granulosit dan unsur-unsur plasma menuju jaringan yang mengalami inflamasi, yang mana dapat berujung pada kerusakan organ. Inflamasi sel-sel endotelial menyebabkan vasodilatasi melalui aksi nitric oxide pada pembuluh darah otot polos. Hipotensi yang berat dihasilkan dari produksi nitric oxide yang berlebihan, sehingga melepaskan peptida-peptida vasoaktif seperti bradikinin dan serotonin, dan dengan kerusakan sel endotel ini, terjadilah ekstravasasi cairan ke jaringan interstisial. Aktivasi IL-8 dapat menyebabkan disfungsi paru-paru melalui aktivasi netrofil yang berada di paru-paru. Kerusakan kapiler menyebabkan peningkatan permeabilitas di paru-paru, serta dapat menyebabkan oedem paru non kardiogenik. Syok adalah komplikasi paling hebat yang dihubungkan dengan sepsis gram negatif. Komplikasi penting lainnya adalah disseminated intravascular coagulation (DIC) dan acute respiratory distress syndrome (ARDS). Efek hemodinamik dari sepsis pada keadaan hiperdinamik dicirikan dengan tingginya curah jantung dan kelainan rendahnya tahanan vaskular sistemik. Sepsis menyebabkan syok yang menyebar yang dicirikan dengan peningkatan aliran darah yang tidak sesuai ke jaringan tertentu, dengan kebutuhan oksigen independen (Wheeler, 2007)

.

D.    Tanda dan gejala

Tanda dan simptom sepsis awal cukup bervariasi dan termasuk demam, menggigil, dan perubahan status mental dengan lethargy (kondisi sangat mengantuk dan tidak responsif) dan malaise (merasa sangat lelah dan lemah yang tidak bisa dijelaskan). Hipotermi bisa terjadi, juga takipnea (bernafas sangat cepat) dan takikardi. Hitung sel darah putih biasanya naik, dan juga gula darah. Kondisi pasien bisa hipoxic.

Memburuknya sepsis menyebabkan disfungsi organ, yang bisa termasuk oliguria, ketidakstabilan hemodinamik dengan hipotensi atau syok, asidosis laktat, hiperglisemia atau hipoglisemia, kemungkinan leukopenia, DIC, trombositopeni, ARDS, hemorrhage saluran cerna, atau koma.

E.     Tujuan penanganan sepsis

Tujuan primer penanganan sepsis adalah keselamatan pasien. Tujuan sekunder termasuk menghindari atau memulihkan kegagalan fungsi organ (renal, hepatic, kardia, dan pulmonal) dan komplikasi lain. Idealnya, ini bisa dilakukan tanpa terjadinya efek samping obat. Patokan hasil yang penting termasuk lamanya di UGD dan lamanya di rumah sakit.

F.     Penatalaksanaan sepsis

Pertimbangan utama untuk perawatan sepsis adalah:

-         Diagnosis dan identifikasi patogen dengan cepat.

-         Identifikasi  dengan cepat sumber infeksi

-         Memulai terapi antimikroba yang agresif

-         Penyediaan sokongan untuk kardiovaskular dan pulmonal

-         Pertimbangan terapi metabolik dan terapi pendukung lainnya.

1.      Terapi Antimikroba

a)      Terapi antimikroba agresif dan diberikan secepatnya sangat penting pada

b)      Jika dicurigai adanya sepsis yang serius, ,penggunaan kombinasi antimikroba biasanya dianjurkan untuk memberikan efek sinergis atau aditif, untuk memperluas cakupan, dan mengurangi kemungkinan resistensi. Antibiotik yang bisa digunakan untuk perawatan empirik sepsis

c)      Jika dicurigai adanya P. aeruginosa, regimen ganda dengan penicillin antipseudomonal atau cephalosporin generasi ketiga atau keempat dan aminoglikosida dianjurkan penggunaannya.

d)     Jika aminoglikosida digunakan, dosis harian tunggal lebih disukai untuk mencapai konsentrasi puncak lebih awal pada perawatan. Pemberian dosis tunggal harian sebaiknya tidak diberikan pada pasien anak, pasien luka bakar, pasien hamil, pasien dengan disfungsi renal, atau pasien yang membutuhkan aminoglikosida untuk efek sinergis terhadap patogen gram positif.

e)      Vancomycin sebaiknya ditambahkan ketika resiko adanya staphylococci yang resisten-methicillin signifikan (Beale, 2004) .

 

2.      Sokongan hemodinamik

a)      Oksigenasi jaringan yang cukup dan penjagaannya penting dalam penanganan sepsis dan tergantung pada perfusi yang cukup serta oksigenasi darah yang cukup.

b)      Resusitasi cairan dengan cepat sangat penting untuk mengatasi hipotensi pada sepsis. Targetnya adalah mengembalikan perfusi jaringan dengan memaksimalkan curah jantung dengan peningkatan preload ventrikular kiri.

c)      Pemberian cairan sebaiknya dititrasi sampai ke titik akhir klinik seperti denyut jantung, volume urin, dan tekanan darah. Ada kontroversi menganai tipe cairan yang digunakan (kristaloid vs koloid). Kristaloid isotoni, seperti 0,9% NaCl atau lactated Ringer, umum digunakan.

d)     Larutan koloid iso-oncotic (plasma dan fraksi protein plasma), seperti albumin 5% dan hetastarch 6%, memberikan keuntungan yaitu pemulihan volume intrvaskular lebih cepat dengan lebih sedikit volume yang diinfuskan, tapi tidak ada kelebihan klinik yang signifikan (Duraira, 2008)

 

3.      Dukungan obat inotrope dan vasoaktif

Jika resusitasi cairan tidak cukup untuk menjaga perfusi jaringan, penggunaan obat inotrope dan vasoaktif diperlukan. Pemilihan dan dosis berdasar pada sifat farmakologi berbagai katekolamin dan bagaimana pengaruhnya ke parameter hemodinamik.Protokol Penggunaan Obat Inotrope dan Vasoaktif yang Dianjurkan

a)             Dopamine banyak digunakan dalam dosis rendah (1-5 μg/kg per menit) untuk meningkatkan perfusi renal dan mesenteric. Dopamine dosis sedang (10-20μg/kg per menit) bisa digunakan untuk menyokong tekanan darah.

b)             Dobutamine (dosis 2-20 μg/kg per menit) adalah agen inotropi β adrenergik yang penggunaannya disukai untuk meningkatkan curah jantung dan penyaluran oksigen. Dobutamine bisa dipertimbangkan penggunaannya pada pasien sepsis parah dengan tekanan pengisian dan tekanan darah yang cukup tapi cardiac index rendah.

c)             Norepinephrine adalah agen α adrenergik poten (0,01-3 μg/kg per menit) yang berguna pada syok septik untuk vasokontriksi perifer. Phenylephrine juga bisa berguna pada pasien dengan hipotensi yang bertahan.

d)            Epinephrine 0,1-0,5 μg/kg per menit, meningkatkan curah jantung dan menyebabkan vasokontriksi perifer. Penggunaannya disimpan untuk pasien yang gagal merespon terapi standar.

e)             Sebelum pemberian agen vasoaktif, sebaiknya dilakukan resusitasi cairan agresif. Agen vasoaktif sebaiknya tidak digunakan untuk alternatif resusitasi volume (Hollenberg, 2007).

 

4.      Terapi tambahan

a)         Glukokortikoid bisa berguna untuk pasien dengan ARDS dan penyakti fibrotic ketika digunakan 5-7 hari setelah onset ARDS. Penggunaan rutin glukokortikoid pada pasien dengan sepsis atau syok tidak dianjurkan.

b)        Heparinisasi untuk penanganan DIC telah dianjurkan karena perdarahan paradoksikal disebabkan oleh kondisi hiperkoagulasi; tetapi, hanya ada sedikit bukti klinik yang menyebutkan heparin bisa meningkatkan keselamatan pasien.

c)         Nutrisi enteral sebaiknya diberikan secepatnya pada pasien dengan sepsis parah atau syok sepsis.

d)        Pendekatan terkini dimana diberikan protein C aktif (drotrecogin) untuk memacu fibrinolisis dan dihubungkan dengan mekanisme anti inflamasi. Agen ini menurunkan mortalitas pada sepsis parah (Overgrad, 2008).

 

G.    Asuhan keperawatan

  1. Pengkajian

Selalu menggunakan pendekatan ABCDE.

 Airway

·         yakinkan kepatenan jalan napas

·         berikan alat bantu napas jika perlu (guedel atau nasopharyngeal)

·         jika terjadi penurunan fungsi pernapasan segera kontak ahli anestesi dan bawa segera mungkin ke ICU

Breathing

·         kaji jumlah pernasan lebih dari 24 kali per menit merupakan gejala yang signifikan

·         kaji saturasi oksigen

·         periksa gas darah arteri untuk mengkaji status oksigenasi dan kemungkinan asidosis

·         berikan 100% oksigen melalui non re-breath mask

·         auskulasi dada, untuk mengetahui adanya infeksi di dada

·         periksa foto thorak

Circulation

·         kaji denyut jantung, >100 kali per menit merupakan tanda signifikan

·         monitoring tekanan darah, tekanan darah <>

·         periksa waktu pengisian kapiler

·         pasang infuse dengan menggunakan canul yang besar

·         berikan cairan koloid – gelofusin atau haemaccel

·         pasang kateter

·         lakukan pemeriksaan darah lengkap

·         siapkan untuk pemeriksaan kultur

·         catat temperature, kemungkinan pasien pyreksia atau temperature kurang dari 36oC

·         siapkan pemeriksaan urin dan sputum

·         berikan antibiotic spectrum luas sesuai kebijakan setempat.

Disability

 

Bingung merupakan salah satu tanda pertama pada pasien sepsis padahal sebelumnya tidak ada masalah (sehat dan baik). Kaji tingkat kesadaran dengan menggunakan AVPU.

 

Exposure

 

Jika sumber infeksi tidak diketahui, cari adanya cidera, luka dan tempat suntikan dan tempat sumber infeksi lainnya.

           

Tanda ancaman terhadap kehidupan

 

Sepsis yang berat didefinisikan sebagai sepsis yang menyebabkan kegagalan fungsi organ. Jika sudah menyembabkan ancaman terhadap kehidupan maka pasien harus dibawa ke ICU, adapun indikasinya sebagai berikut:

·         Penurunan fungsi ginjal

·         Penurunan fungsi jantung

·         Hyposia

·         Asidosis

·         Gangguan pembekuan

·         Acute respiratory distress syndrome (ards) – tanda cardinal oedema pulmonal.

 

2.      Diagnosa keperawatan

a.       Gangguan pola pernafasan yang berhubungan dengan apnea..
Intervensi Keperawatan :

1.      Kaji perubahan pernapasan meliputi takipnea, pernapasan cuping hidung, gunting,sianosis, ronki kasar, periode apnea yang lebih dari 10 detik.

2.      Pantau denyut jantung secara elektronik untuk mengetahui takikardia atau bradikardia dan perubahan tekanan darah.

3.       Sediakan oksigen lembap dan hangat dengan kadar T1O2 yang rendah untuk menjaga pengeluaran energi dan panas.

4.       Sediakan alat bantu pernapasan atau ventilasi mekanik

5.      Isap lendir atau bersihkan jalan napas secara hati-hati

6.      Amati gas darah yang ada atua pantau tingkat analisis gas darah sesuai kebutuhan

b.      Potensial terhadap infeksi (progresi dari sepsis ke syok sepsis) sehubungan dengan perkembangan infeksi opportunistik.

1)      Berikan isolasi/pantau pengunjung sesuai indikasi.

2)      Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan aktivitas walaupun menggunakan sarung tangan.

3)      Batasi penggunaan alat/prosedur invasif jika memungkinkan.

4)      Gunakan teknik steril

5)      Monitor suhu/peningkatan suhu secara teratur

6)      Amati adanya menggigil

7)      Pantau TTV klien

8)      Kolaborasi dengan team medis dalam pemberian antibiotic

c.       Resiko tinggi terjadinya perubahan suhu : hyperthermi/hypothermi sehubungan dengan peningkatan tingkat metabolisme tubuh, vasokontriksi/vasodilatasi pembuluh darah.

1)      Pantau suhu klien (derajat dan pola) perhatikan menggigil/diaforesis.

2)      Pantau suhu lingkungan/pengaturan suhu lingkungan.

3)      Isolasi anak/bayi dalam inkubator

4)      Beri kompres (dingin, hangat) bila terjadi peningkatan/penurunan suhu.

5)      Catat peningkatan/penurunan suhu tubuh bayi.

6)      Kolaborasi dengan team medis dalam pemeriksaan laboratorium (leukosit meningkat).

d.      Penurunan perfusi jaringan berhubungan dengan supply okigen berkurang/pernapasan irreguler.

1)      Kaji ulang terhadap pola pertumbuhan prenatal dan atau penurunan jumlah cairan amnion seperti yang dideteksi oleh ultrasonografi.

2)      Perhatikan jenis kelahiran dan kejadian intra partum yang menandakan hipoksia.

3)      Perhatikan waktu dan skor Apgar, observasi pola pernafasan.

4)      Kaji frekuensi pernafasan, kedalaman, upaya, observasi dan laporkan tanda dan gejala distress pernafasan, bedakan dari gejala yang berhubungan dengan polisitemia.

5)      Auskultasi bunyi nafas secara teratur.

6)      Hisap selang nasofaring sesuai kebutuhan, setelah pemberian suplemen oksigen pertama.

7)      Auskultasi nadi apikal, perhatikan adanya sianosis.

8)      Cegah komplikasi latrogenik berkenaan dengan distress dingin, ketidakseimbangan metabolik dan ketidakcukupan kalori.


Daftar Pustaka

Wheeler, A. 2007.  Recent developments in the diagnosis and management of severe sepsis.

Chest. 132;1967-1976.

Guntur, M. 2009. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th ed. Jakarta: pusat penerbitan departemen

ilmu penyakit Dalam fkui

Duraira, S. 2008. Fluid therapy in resuscitated sepsis. Chest. 133:252–263.

hollenberg, M. Vasopressor support in septic shock.  Chest. 2007;132:1678-1687

Beale, R.Vasopressor and inotropic Support  in septic shock : an Evidence based review. Critical

Care med. 2004;32:11(suppl):S455-65.